Pulang, Alhamdulillah kata itu akhirnya terputuskan sudah. Setelah sempat memutuskan
untuk memilih pulang pada awal akhir Januari 2021. Tapi, dari sekian banyak
pertimbangan seperti lama waktu libur, kondisi pandemi di Indonesia, keluarga, diri
sendiri dan yang penting Professor. Akhirnya summer 2020, saya memutuskan pulang
dahulu setelah enam bulan tinggal di Tainan.
Pulang sejenak untuk melihat
langit malam di Indonesia. Makhlum, salah satu hobi saya sejak kecil adalah
melihat langit malam, selalu melihat ke selatan mencari-cari bintang ikan pari
atau juga di sebut bintang selatan yang dijadikan sebagai navigasi jika
berlayar malam hari atau pas tersesat, atau menikmati Venus yang selalu menyapa
di pagi hari setelah shalat subuh. Selepas shalat subuh, tengadahkan ke atas
cari satu bintang kejora paling terang, dialah Venus. Atau, bintang yang
kemerah-merahan, jarang kelihatan jelas, yang berwarna kemerahan, dialah Mars.
Bulan
dan Venus saat fajar menyingsing di Tainan
Saat ini,
keberadaan bintang bisa kita lihat posisinya dengan aplikasi Stellarium. Akan
tahu bahwa di Bulan Juli Saturnus dan Jupiter senantiasa berdekatan dan
berkawan, Saturnus dengan cincinya yang indah bahkan bisa terlihat juga satelit
yang mengelilinginya, Andromeda sekarang ada di mana, bahkan tahu mitologi
Yunani bagaimana mereka menghubungkan gugusan bintang menjadi bentuk. Eh, ini
kan mau pulang Indonesia, kan gak perlu lewat Venus atau Mars 😊.
Saat pulang
pilihan pesawat hanya ada tiga, Cathay transit Hongkong, Eva Air atau China
Airlines (CI) yang TPE – CGK direct flight. Saya dibantu Mas Annas, badannya tinggi, suka menolong, mahasiswa PhD di NCKU dan seorang entrepreneur, ia membantu pemilihan dan pemesanan tiket. Ternyata ketiga maskapai hanya terbang seminggu sekali.
Meski lebih mahal 3000 NT dibanding Cathay, saya akhirnya memilih pakai CI
dengan pertimbangan: direct flight, kalau situasi non pandemi saya ingin lihat
Bandara HK dengan pakai Cathay 😊,
dan CI tiba di CGK jam 1 siang jadi bisa lanjut Surabaya, kalau Cathay malam jam
10 jadi kemungkinan lanjut pesawat esoknya. Okay, pakai kartu kredit (CC) Mas Annas, terbayar
sudah, deal booking tanggal 23 Juli.
Jelang 23 Juli
jalan-jalan dulu ke Taitung untuk melihat balon udara, pertama dalam hidup.
Dengan didriveri Pak Faaris, Mahasiswa PhD yang menghabiskan studi sarjana dan
masternya di Eropa, berangkatlah ke Taitung. Awalnya pesimis ikut karena
kesibukan Lab, tapi karena teman-teman terbaik ini sabar menunggu akhirnya berangkat
juga 😊 setelah saya canceled gabung perjalanan
sebelumnya ke Taiwan Utara. Selama perjalanan sempat juga saya nyetir, steer
kiri pertama dalam hidup, dan BISA. Semangat jadi membara untuk mengurus SIM
internasional di Jakarta. Gampang prosedur bikin SIM internasional, hanya kalau
jalan-jalan yang sulit dapat SIP, Surat Izin Professor, hehehe.
Festival
Balon Udara di Taitung
Jam menunjukkan
pukul 23 malam, ditemani Afif, mahasiswa Master NCKU dan roommate,
menuju ke Tainan Bus Station, yang hanya butuh 20 menit berjalan santai. Di bus
station sudah ada Rizki, Master di NCKU – seorang Presiden di Moslem Students
Association yang mengaku dari Kaltim Timur hehehe.
Pesan tiket ke
Airport seharga 450 NT dan dapat dua tiket yaitu Tainan – Zhong Li dan Zong Li
– TPE. Harus oper bus karena Ubus ini bertujuan akhir di Taipe Kota. Naik Ubus
ingat waktu hidup di Dresden beberapa minggu, ke kota-kota sekitar di Praha dan
Basel. Sama-sama bernama Ubus dan sama-sama berwarna hijau 😊. Ubus hanya sekali mampir di Taichung dan
jangan lupa bawa bekal siapa tahu malam-malam lapar, dan saya lapar waktu itu
akhirnya hadiah garlic bread,
demikian Mas Rizki menyebutnya dapat menahan rasa lapar malam hari 😊. Berangkat jam 23.30 sampai di Zhong Li 3 dini
hari trus nunggu bus ke Airport. Mereka paham airport jadi tak perlu takut
kesasar. Tak butuh waktu lama menunggu 30 menit kemudian menuju airport dan
cepat sampai dan ingat CI ada di Terminal 1.
Tiket
Ubus untuk tujuan Terminal 1 Bandara Taoyuan transit di Zheng Li dan Garlic
Bread
Situasi pandemi, terminal 1 sepi sekali,
ternyata check in gate buka 5.40 LT untuk Jakarta ada di nomor 10. Shalat subuh
di sudut bandara, karena seingat saya muhola di TPE ada setelah check in,
menuju ke waiting room. Serta buka bekal sarapan yang saya bawa dari Tainan.
Ntah, pagi itu ada atau tidak toko atau sevel yang sudah buka. Biasanya saya
semangat keliling-keliling sambil menunggu waktu, kemarin itu kok memilih hanya
duduk, sesekali berbaring di kursi meluruskan tulang-tulang yang sudah melewati
masa 40 tahun masehi.
Okay 5.40 LT
saya menuju check in counter, sengaja tak check in online dulu, untuk menikmati
percakapan dengan petugasnya 😊.
Dan eng ing eng, saya diminta menunjukkan CC karena melakukan pembayaran lewat
CC. Ah, tentunya saya gak bisa karena pakai CC Mas Annas yang saat itu sudah
ada di Indonesia dipingit di sebuah kamar di sudut Kota Malang. Ya, Mas Annas
yang pintar masak ini akan menikah awal Agustus. Mendapatkan wanita shalihah dari
ujung utara Taiwan, bukan orang Taiwan, tapi lulusan ITS yang sekolah di NCU. Wah
urusan CC bisa sampai NCU hehehe.
Ternyata ada
aturan, bahwa kalau pakai CC maka harus dibawa dan ditunjukkan ke counter
sebagai bukti bahwa kita sudah beli tiket, oh. Terus Mbaknya Counter bilang: kalau mau terbang hari ini maka harus beli
tiket lagi, kami akan beri harga sesuai pembelian sebelumnya. Dan harus
bawa fisik CCnya tak boleh difoto. O. O. Dengan senyum akhirnya beli tiket
dengan ATM Visa dari Post Bank, lengkap saya sebut 😊, karena uang cash tak sampai sejumlah tiket
yang harganya hampir 13 ribu enti itu.
Alhamdulillah dapat tiket deh. Balik
lagi ke counter, proses check in. Dan saya bilang bahwa saya sudah pesan moslem
meal di sistem. Dan ternyat tak ter-record hehehe. Embaknya sih bilang harus 72
jam sebelumnya dan saya yakin sudah approved untuk moslem meal. Ya sudahlah,
akhirnya saya minta vegetarian meal, Mbaknya bilang sudah disampaikan tapi
tidak janji ada karena ya itu tadi pemesanan harus 72 jam sebelumnya. Dan
ditawari tempat duduk isle, okay, posisi favorit saya.
Masuk ke imigrasi,
tak ada sesuatu yang istimewa, biasa saja. Hanya sepi antrian. Masuk ruang
tunggu hanya diperiksa suhu tubuh tidak lebih dari itu. Proses boarding
berjalan alhamdulillah CI671 ternyata penuh penumpang, hampir semua pemegang
passport Indonesia, PMI. Dan sebelah saya kosong. Nonton Home Coming tak bisa menikmati, karena tidur. Aaaaah, nikmat
rasanya tidur, setelah berkutat sekian lama, sepertinya agak lupa rasanya tidur
waktu dhuha dan siang 😊.
Capeknya bukan karna proses boarding, tapi seperti melepas beban sekian lama,
mikir pulang, akhirnya bisa: PULANG.
Oh iya, saya
berbekal tes PCR dari NCKU Hospital dengan harapan sampai tiba di CGK bisa
lebih lancar untuk keluar dari Bandara. Tapi kan karena takut situasi tak pasti
maka saya belum book tiket CGK-SUB. Nanti saja setelah keluar imigrasi, pikir
saya begitu. Untuk tes PCR ke NCKU Hospital kita bawa tiket dan passport yaaaa 10
hari sebelumnya lah. Ntar petugas akan menentukan jadwal tes PCR dan
pengambilannya berdasarkan tiket keberangkatan pesawat. Hasil PCR disetting
diambil H-1. Sehingga tes PCR H-3. Nah, biaya 5000 NT silakan dibawa saat H-3
tersebut, dan ingat harus rileks saat PCR test.
Dokumen lain
yang saya siapkan yaitu dokumen perjalanan dari KDEI. Cukup email mereka dengan
melampirkan: scan passport, ARC, Student Card dan KTP serta alasan ke Indonesia
maka selama waktu 3 hari kerja akan dikirim kembali via email hasilnya,
sehingga tak butuh usaha yang lebih.
Landing, tiba
di Soeta. Keluar dari garbarata, maka rombongan dipisah jadi dua jalur, jalur tak bawa PCR test dan jalur bawa PCR Test, anak-anak dan ibunya, ibu
hamil. Saya ikut jalur bawa PCR test. Setelah itu, saya tidak tahu bagaimana
jalur yang tidak bawa PCR Test, jadi mikir seperti film-film yang rombongan
terpisah terus tak tahu mereka dibawa kemana, hehehe.
Dengar-dengar,
dari dunia maya. Mereka akan di PCR test dulu: ada banyak model PCR cepat bayar
sekitar 2 jutaan rupiah, dalam sehari selesai, trus atau jalur lain gratis ke
wisma atlit butuh waktu sekitar 5 harian sampai PCR test jadi, atau mau nginap
di hotel yang ditunjuk. Nah hotel ini berbayar sendiri. Semoga informasi ini
masih benar.
Oh iya, selama
di pesawat akan diberi 3 lembar kertas: satu untuk deklarasi barang bawaan kita
seperti biasanya dari bea cukai, kertas putih dan kuning untuk menceritakan
riwayat bepergian kita serta kondisi kesehatan tubuh. Yang bawa PCR test tidak
terlalu banyak, dan sebelumnya juga ada penerbangan baru yang landing, tapi ini
juga tak butuh waktu lama untuk antri penyerahan dokumen tadi.
Setelah mengisi
kertas putih dan merah yang diperoleh di pesawat, saat antri kita diminta
mengisi data Health Clearance dari
Kemenkes. Kemudian, petugas akan memeriksa kondisi tubuh kita meliputi
temperatur, saturation, dan pulse. Yang di dalamnya ada pernyataan bahwa kita
diizinkan untuk masuk ke Indonesia dan melakukan proses karantina selama 14
hari.
Health
Clearance
Kemudian,
setelah mendapatkan persetujuan Health Clearance, menuju ke imigrasi. Imigrasi
Indonesia memang lebih ramah 😊
mereka mau menjawab sapaan. Sedangkan di negara-negara lain selalu pasang
tampang serem dan tak menjawab sapaan. Beres tak ada antrian. Trus ke ambil
bagasi dan ke beacukai. Karena taka da yang perlu dideklarasikan, maka pilih
jalur hijau. Saya hanya melenggang sendiri. Menyerahkan dokumen deklarasi
bawaan. Dan, selesai. Tanpa ada pemeriksaan bagasi. Trus keluar ada antrian,
ternyata sebelum pintu keluar ada penjualan tiket pesawat, saya diperiksa
anggota TNI berseragam doreng hijau dan ramah. Bapak TNI ini mengecek Health
Clearance saya, setelah okay selesai. saya ditanya tujuan ke Sidoarjo naik apa,
saya jawab pesawat. Sudah pesan? Saya jawab belum. Sebenarnya saya diarahkan ke
counter tiket itu tadi, tapi saya jawab saya mau pesan lewat traveloka.
Saya keluar
dari prosedur bandara. Ada mushola. Shalat jama’ qoshor. Oh iya, waktu di
Tainan, saya sudah beli pulsa SIM dan paket data. Kata Mas Annas, sulit cari Wi
Fi waktu di mendarat seminggu sebelumnya. Malam sih, waktu itu, apakah mungkin
Wi Fi dimatikan atau bagaimana, saya tidak tahu. Jadi saya aman, karena sudah
mengaktifkan paket data lokal. Jadi perkiraan saya butuh sekitar 45 menit untuk
keluar dari prosedur bandara internasional di Terminal 3.
Nah
selanjutnya, setelah shalat berburu tiket. Jegreeeeng. Traveloka dan tiket.com
tak jual tiket hari H. Akhirnya berburu di website maskapai, masuk ke Garuda
karena yang ada di Terminal 3 kan Garuda. Gak nemu penerbangan. Akhirnya cari
Citilink, ada penerbangan jam 16 dan saat itu sudah pukul 14 dan ternyata batas
waktu pembayaran jam 15. Wah harus segera cari ATM karena token saya tertinggal
di Taiwan. Arah ATM adalah menuju ke terminal pemberakatan, jadi kalau dari
terminal kedatangan belok kiri luruuuuus di ujung dan masuk. Ternyata di situ
berderat kantor cabang beberapa bank, termasuk BNI.
Pas ambil uang
rupiah di ATM BNI, di sebelah saya ada yang ngisi ATM dan Pak Sekuriti BNI,
mereka ngobrol. Dan, saya dengar dari obrolan mereka bahwa Citilik per hari
itu, 23 Juli pindah di Terminal 3. Saya yang waktu itu sudah kehilangan harapan
karena gak bisa bayar via ATM booking citilink jadi bersemangat. Saya pastikan
ke Pak Sekuriti BNI, dan benar per 23 Juli hari itu Citilink pindah di Terminal
3. Saya semangat kembali. Saya menyampaikan keluhan saya karena tak bisa bayar
tiket karena tak dikirimi prosedur pembayaran. Trus diarahkan ke CS. Saya
sampaikan keluhan. CS tak bisa membantu karena statusnya memang saya belum
melakukan transaksi pembayaran. Kemudian saya diminta ke CS Citilink. Ternyata
CS citilink di lantai atas di mana harus masuk ruang X-ray dulu. Padahal saya
belum punya tiket.
Alhamdulillah,
ternyata hanya pemeriksaan x-ray bukan pemeriksaan tiket. Akhirnya bisa masuk
dan menuju ke lantai atas. Canggih. Lift taka da tombol yang ditekan, angkasa
pura 2 telah melakukan perubahan teknologi, bukan pencetan tapi injakan. Sempat
bingung juga nyari tombol pencetan di mana 😊.
Injakan
di lift dan jarak aman di garbarata
Sisa waktu s.d.
jam 15 hampir habis dan saya mempercepat troli mencari counter Citilink.
Alhamdulillah dapat, dan memang terdaftar. Tapi tidak dikirimi prosedur bayar
karena sudah mepet waktu 😊.
Okay lah. Akhirnya bayar tunai di counter Citilink. Harga tiket 800 ribu,
kembali dua ribuan. Masih murah menurut saya. Apa lagi mepet dan dapat bagasi
20 kg. Bagasi saya hanya 16 kg. Koper besar full tapi hanya seberat 16 kg. Isinya
full, full mainan dari plastik, makanya ringan. Oh iya, sebagian besar mainan
plastik ini saya beli di toko second. Dekat Halte Health Bureau di Tainan. Bisa
naik Bus 6 arah Rende dari Shengli kalau dari dekat kampus. Saya waktu itu naik motor. Murah dan masih baru menurut saya. Juga banyak
barang-barang antik lainnya. Bintang 5 deh.
Saat beli tiket
tadi, saya tunjukkan bahwa saya sudah dapat Health Clearance dari pihak
bandara. Trus setelah itu check in. Saya lupa pesan makanan untuk di pesawat.
Ya sudah nanti di pesawat saja. Biasanya ada. Sebelum masuk x-ray kedua menuju
waiting room diperiksa dokumen Health Clearance kembali.
Penerbangan jam
16 boarding, dan pesawat benar-benar take off sekitar 20 menit kemudian. Dalam
pesawat kursi tengah dikosongi, sebagai adaptasi pada masa Covid. di bandara dan
pesawat semua mengenakan masker malah ada yang menggunakan face shield. Bagus.
Hanya beberapa masih saya lihat mereka masih menyentuh bagian muka dekat
hidung, dan mata. Ini tak boleh. Juga ada yang masih menyentuh masker bagian
luar. Ini juga tak boleh. Jadi walau pakai APD pastikan tak menyentuh bagian
wajah sebelum cuci tangan dengan disinfektan.
Penerbangan
sore, hanya butuh sejam sedikit untuk landing. Tak terasa apalagi saya bisa
tidur. Sayang ternyata di pesawat makanan tak tersedia. Beli minuman uang 100
ribuan, gak ada kembalia. Jadi gak jadi beli 😊.
Selesai di
domestic flight mendarat di Runway Juanda. Setelah belok melalui taxi way,
lampu mulai dinyakalan kembali diiringi pantun indah dari awak kabin yang
selalu berhasil membuat saya tersenyum. Salut Citilink atas konsistensi
ketepatan waktu dan pantun-pantun yang membuat senyum. Akhirnya SQ bersandar di
apron. Melalui garbarata, menuju ke terminal. Terminal T1 sepi, saya lebih suka
menyebut utara. Selain senyap juga ada renovasi ruangan.
Sesampainya di
Bandara Juanda, dan ambil bagasi, sebelum keluar kita harus mengisi electronic
Health Alert Card (eHAC) yang bisa diunduh di playstore. Atau bisa
juga mengisi secara manual di kertas kuning yang telah disediakan pihak Bandara
Juanda.
Sesampai di
rumah, istri saya berkonsultasi dengan tenaga medis dari puskesmas, apakah
memang perlu melakukan self-quarantine, berdasarkan aturan sudah tidak perlu
selama ada PCR negatif. Saya menyampaikan dokumen perjalanan dari KDEI, Health
Clearance dari Bandara dan PCR Test dari NCKU ke RT juga. Dan disampaikan oleh
Ketua RT tidak perlu karantina mandiri. Alhamdulillah. Tapi tetap waspada dan
hindari kemana-mana.