Tulisan ini pernah dimuat di http://its.ac.id/berita.php?nomer=8394
Pemuda keren, tampan, pintar dan ramah itu bernama Paijo, asli Surabaya. Suatu ketika ia hendak berkunjung ke saudaranya di Jakarta dengan menggunakan pesawat. Dalam perjalanan, ia mendapat jatah tempat duduk di samping ibu tua berumur 60 tahunan.
Jiwa ingin tahunya ternyata mengalahkan rasa malunya. Dalam perjalanan tersebut, dengan santai ia bertanya ke ibu disampingnya. Pertama ia malu, namun beberapa saat kemudian situasi berlangsung cair.
''Mau kenapa ibu?,'' tanya Paijo dengan ramah.
''Ke Singapura dik, tapi transit dulu di bandara Soekarno Hatta,'' jawab sang ibu.
''Ke Singapura ada acara apa bu? kok sendirian?,'' kata Paijo penasaran.
''Ke rumah anak,'' jawab sang ibu.
Setelah itu, perbincangan berlangsung akrab, Ibu tersebut menceritakan ke Paijo bahwa salah satu anaknya menjadi dosen di Singapura, dan kesanalah ia hendak berkunjung. Ia juga menceritakan bahwa saat ini ia mempunyai empat orang putra dan suaminya telah meninggal 20 tahun lalu.
Karena Paijo terus bertanya, akhirnya ibu tersebut menceritakan keberadaan semua anaknya. Anak yang kedua saat ini menjadi dokter di salah satu rumah sakit terbesar di Surabaya. Anak keduanya menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dan anak terakhir adalah dosen di perguruan tinggi di Singapura tersebut.
Paijo merasa ada yang janggal, kenapa anak pertamanya tidak disebutkan. Karena jiwa ingin tahunya yang besar, Paijo menanyakan keberadaan anak pertama sang ibu. ''Oh ya bu, lalu anak ibu yang pertama dimana sekarang,'' tanyanya.
Sang ibu tidak langsung menjawab, ia diam sejanak sambil matanya menerawang ke langit-langit pesawat. Kemudian sambil terseyum tipis sang ibu berkata, ''Ada dik, ia seorang petani mungkin sekarang sedang berada sawahnya,'' jawab sang ibu.
Melihat jawaban tersebut Paijo meminta maaf kepada sang ibu jika pertanyaanya membuat ibu tersebut sedih. Namun dengan nada tegas ibu tersebut berkata, ''Tidak apa dik, saya tidak sedih, malah saya merasa paling bangga pada anak pertama saya tersebut,'' tegas sang ibu.
Kemudian sang ibu menceritakan, sejak suaminya meninggal. Tulang punggung keluarga diambil alih oleh anak pertama. Ia melanjutkan merawat sawah peninggalan ayahnya. Dan dari keringat si anak pertama tersebut, sang ibu dapat membiayai anak-anaknya yang lain sampai lulus perguruan tinggi dan menjadi seorang sarjana.
Tidak dipungikiri, kesuksesan ketiga adiknya tersebut tidak lepas dari banting tulang si anak pertama yang kini tetap menjadi seorang petani. Dan kisah tersebut adalah sebuah kisah nyata yang diceritakan teman saya ketika diskusi mingguan.
Hampir semua orang yang pernah saya tanya menganai cita-citanya kedepan, mereka menjawab ingin sukses, ingin menjadi juara ini dan itu, ingin jadi pengusaha atau bahkan ada yang ingin jadi Presiden. Tidak salah itu semua, dan memang benar.
Suatu hari ada teman saya bercerita, ada tiga macam kata yang menjadi tujuan seseorang yakni juara, sukses dan kebermanfaatan. Ketiga kata tersebut beririsan namun antara satu dengan yang lain mempunyai makna realita yang berbeda. Mana yang akan kita utamakan?
Kita bisa menjadi juara, namun dalam kondisi nyata banyak seorang juara yang tidak sukses dan tidak memberi kebermanfaatan. Karya-karya juaranya hanya dimuseumkan hingga waktu membuat orang lain lupa. Kita bisa juga sukses, namun banyak orang sukses yang hanya untuk dirinya sendiri. Boro-boro memberi manfaat orang lain, malah membuat orang lain susah.
Mark Zuckerberg, founder dan pendiri dari Facebook yang sekarang menjadi miliarder termuda di Amerika bahkan di dunia. Tahukah kita, Facebook sebenarnya dibuat sebagai situs jaringan pertemanan terbatas pada kalangan kampus pembuatnya, yakni Mark Zuckerberg. Sebagai mahasiswa Harvard University, ia saat itu mencoba membuat satu program yang bisa menghubungkan teman-teman satu kampusnya.
Karena itulah, nama situs yang digagas oleh Mark adalah Facebook. Nama ini ia ambil dari buku Facebook, yaitu buku yang biasanya berisi daftar anggota komunitas dalam satu kampus. Pada sejumlah kampus dan sekolah di Amerika Serikat, buku ini diberikan kepada mahasiswa atau staf fakultas yang baru agar bisa lebih mengenal orang lain di kampus bersangkutan.
Intinya, misi awal Mark bukanlah menjadi sorang milyader ataupun menjadi seorang juara kompetisi. Ia hanya ingin memberikan manfaat ke orang sekitarnya supaya dapat berhubungan tanpa ketemu secara langsung.
Sekarang tinggal kita, mau pilih yang mana, seorang juara, seorang sukses atau seorang yang bermanfaat? Semua pilihan ada ditangan kita.
Akhirnya, seperti istana megah tanpa penghuni, apapun kita, apakah itu tukang sapu, mahasiswa biasa, juara olimpiade, mahasiswa beprestasi, pimpinan organisasi mahasiswa, Rektor atau bahkan Presidenpun akan terasa sia-sia jika hanya menjadi kebanggaan diri sendiri tanpa bisa memberi kemanfaatan pada orang lain.
Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan jejak.
Jejak langkah kaki
Jejak langkah mimpi
Jejak langkah setiap sisa yang kita tinggalkan
*) terinspirasi setelah diskusi dengan penulis buku ''Kuliah atau Kuli Yah?'' Satria Nova
''Mau kenapa ibu?,'' tanya Paijo dengan ramah.
''Ke Singapura dik, tapi transit dulu di bandara Soekarno Hatta,'' jawab sang ibu.
''Ke Singapura ada acara apa bu? kok sendirian?,'' kata Paijo penasaran.
''Ke rumah anak,'' jawab sang ibu.
Setelah itu, perbincangan berlangsung akrab, Ibu tersebut menceritakan ke Paijo bahwa salah satu anaknya menjadi dosen di Singapura, dan kesanalah ia hendak berkunjung. Ia juga menceritakan bahwa saat ini ia mempunyai empat orang putra dan suaminya telah meninggal 20 tahun lalu.
Karena Paijo terus bertanya, akhirnya ibu tersebut menceritakan keberadaan semua anaknya. Anak yang kedua saat ini menjadi dokter di salah satu rumah sakit terbesar di Surabaya. Anak keduanya menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dan anak terakhir adalah dosen di perguruan tinggi di Singapura tersebut.
Paijo merasa ada yang janggal, kenapa anak pertamanya tidak disebutkan. Karena jiwa ingin tahunya yang besar, Paijo menanyakan keberadaan anak pertama sang ibu. ''Oh ya bu, lalu anak ibu yang pertama dimana sekarang,'' tanyanya.
Sang ibu tidak langsung menjawab, ia diam sejanak sambil matanya menerawang ke langit-langit pesawat. Kemudian sambil terseyum tipis sang ibu berkata, ''Ada dik, ia seorang petani mungkin sekarang sedang berada sawahnya,'' jawab sang ibu.
Melihat jawaban tersebut Paijo meminta maaf kepada sang ibu jika pertanyaanya membuat ibu tersebut sedih. Namun dengan nada tegas ibu tersebut berkata, ''Tidak apa dik, saya tidak sedih, malah saya merasa paling bangga pada anak pertama saya tersebut,'' tegas sang ibu.
Kemudian sang ibu menceritakan, sejak suaminya meninggal. Tulang punggung keluarga diambil alih oleh anak pertama. Ia melanjutkan merawat sawah peninggalan ayahnya. Dan dari keringat si anak pertama tersebut, sang ibu dapat membiayai anak-anaknya yang lain sampai lulus perguruan tinggi dan menjadi seorang sarjana.
Tidak dipungikiri, kesuksesan ketiga adiknya tersebut tidak lepas dari banting tulang si anak pertama yang kini tetap menjadi seorang petani. Dan kisah tersebut adalah sebuah kisah nyata yang diceritakan teman saya ketika diskusi mingguan.
Hampir semua orang yang pernah saya tanya menganai cita-citanya kedepan, mereka menjawab ingin sukses, ingin menjadi juara ini dan itu, ingin jadi pengusaha atau bahkan ada yang ingin jadi Presiden. Tidak salah itu semua, dan memang benar.
Suatu hari ada teman saya bercerita, ada tiga macam kata yang menjadi tujuan seseorang yakni juara, sukses dan kebermanfaatan. Ketiga kata tersebut beririsan namun antara satu dengan yang lain mempunyai makna realita yang berbeda. Mana yang akan kita utamakan?
Kita bisa menjadi juara, namun dalam kondisi nyata banyak seorang juara yang tidak sukses dan tidak memberi kebermanfaatan. Karya-karya juaranya hanya dimuseumkan hingga waktu membuat orang lain lupa. Kita bisa juga sukses, namun banyak orang sukses yang hanya untuk dirinya sendiri. Boro-boro memberi manfaat orang lain, malah membuat orang lain susah.
Mark Zuckerberg, founder dan pendiri dari Facebook yang sekarang menjadi miliarder termuda di Amerika bahkan di dunia. Tahukah kita, Facebook sebenarnya dibuat sebagai situs jaringan pertemanan terbatas pada kalangan kampus pembuatnya, yakni Mark Zuckerberg. Sebagai mahasiswa Harvard University, ia saat itu mencoba membuat satu program yang bisa menghubungkan teman-teman satu kampusnya.
Karena itulah, nama situs yang digagas oleh Mark adalah Facebook. Nama ini ia ambil dari buku Facebook, yaitu buku yang biasanya berisi daftar anggota komunitas dalam satu kampus. Pada sejumlah kampus dan sekolah di Amerika Serikat, buku ini diberikan kepada mahasiswa atau staf fakultas yang baru agar bisa lebih mengenal orang lain di kampus bersangkutan.
Intinya, misi awal Mark bukanlah menjadi sorang milyader ataupun menjadi seorang juara kompetisi. Ia hanya ingin memberikan manfaat ke orang sekitarnya supaya dapat berhubungan tanpa ketemu secara langsung.
Sekarang tinggal kita, mau pilih yang mana, seorang juara, seorang sukses atau seorang yang bermanfaat? Semua pilihan ada ditangan kita.
Akhirnya, seperti istana megah tanpa penghuni, apapun kita, apakah itu tukang sapu, mahasiswa biasa, juara olimpiade, mahasiswa beprestasi, pimpinan organisasi mahasiswa, Rektor atau bahkan Presidenpun akan terasa sia-sia jika hanya menjadi kebanggaan diri sendiri tanpa bisa memberi kemanfaatan pada orang lain.
Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan jejak.
Jejak langkah kaki
Jejak langkah mimpi
Jejak langkah setiap sisa yang kita tinggalkan
*) terinspirasi setelah diskusi dengan penulis buku ''Kuliah atau Kuli Yah?'' Satria Nova
Tidak ada komentar:
Posting Komentar