Sabtu, 25 Juli 2020

Pulang (Taiwan ke Indonesia pada Juli 2020)

Penulis: Tatas

Pulang, Alhamdulillah kata itu akhirnya terputuskan sudah. Setelah sempat memutuskan untuk memilih pulang pada awal akhir Januari 2021. Tapi, dari sekian banyak pertimbangan seperti lama waktu libur, kondisi pandemi di Indonesia, keluarga, diri sendiri dan yang penting Professor. Akhirnya summer 2020, saya memutuskan pulang dahulu setelah enam bulan tinggal di Tainan. 

Pulang sejenak untuk melihat langit malam di Indonesia. Makhlum, salah satu hobi saya sejak kecil adalah melihat langit malam, selalu melihat ke selatan mencari-cari bintang ikan pari atau juga di sebut bintang selatan yang dijadikan sebagai navigasi jika berlayar malam hari atau pas tersesat, atau menikmati Venus yang selalu menyapa di pagi hari setelah shalat subuh. Selepas shalat subuh, tengadahkan ke atas cari satu bintang kejora paling terang, dialah Venus. Atau, bintang yang kemerah-merahan, jarang kelihatan jelas, yang berwarna kemerahan, dialah Mars.

Bulan dan Venus saat fajar menyingsing di Tainan

Saat ini, keberadaan bintang bisa kita lihat posisinya dengan aplikasi Stellarium. Akan tahu bahwa di Bulan Juli Saturnus dan Jupiter senantiasa berdekatan dan berkawan, Saturnus dengan cincinya yang indah bahkan bisa terlihat juga satelit yang mengelilinginya, Andromeda sekarang ada di mana, bahkan tahu mitologi Yunani bagaimana mereka menghubungkan gugusan bintang menjadi bentuk. Eh, ini kan mau pulang Indonesia, kan gak perlu lewat Venus atau Mars 😊.

Saat pulang pilihan pesawat hanya ada tiga, Cathay transit Hongkong, Eva Air atau China Airlines (CI) yang TPE – CGK direct flight. Saya dibantu Mas Annas, badannya tinggi, suka menolong, mahasiswa PhD di NCKU dan seorang entrepreneur, ia membantu pemilihan dan pemesanan tiket. Ternyata ketiga maskapai hanya terbang seminggu sekali. Meski lebih mahal 3000 NT dibanding Cathay, saya akhirnya memilih pakai CI dengan pertimbangan: direct flight, kalau situasi non pandemi saya ingin lihat Bandara HK dengan pakai Cathay 😊, dan CI tiba di CGK jam 1 siang jadi bisa lanjut Surabaya, kalau Cathay malam jam 10 jadi kemungkinan lanjut pesawat esoknya. Okay, pakai kartu kredit (CC) Mas Annas, terbayar sudah, deal booking tanggal 23 Juli.

Jelang 23 Juli jalan-jalan dulu ke Taitung untuk melihat balon udara, pertama dalam hidup. Dengan didriveri Pak Faaris, Mahasiswa PhD yang menghabiskan studi sarjana dan masternya di Eropa, berangkatlah ke Taitung. Awalnya pesimis ikut karena kesibukan Lab, tapi karena teman-teman terbaik ini sabar menunggu akhirnya berangkat juga 😊 setelah saya canceled gabung perjalanan sebelumnya ke Taiwan Utara. Selama perjalanan sempat juga saya nyetir, steer kiri pertama dalam hidup, dan BISA. Semangat jadi membara untuk mengurus SIM internasional di Jakarta. Gampang prosedur bikin SIM internasional, hanya kalau jalan-jalan yang sulit dapat SIP, Surat Izin Professor, hehehe.

Festival Balon Udara di Taitung

Jam menunjukkan pukul 23 malam, ditemani Afif, mahasiswa Master NCKU dan roommate, menuju ke Tainan Bus Station, yang hanya butuh 20 menit berjalan santai. Di bus station sudah ada Rizki, Master di NCKU – seorang Presiden di Moslem Students Association yang mengaku dari Kaltim Timur hehehe.

Pesan tiket ke Airport seharga 450 NT dan dapat dua tiket yaitu Tainan – Zhong Li dan Zong Li – TPE. Harus oper bus karena Ubus ini bertujuan akhir di Taipe Kota. Naik Ubus ingat waktu hidup di Dresden beberapa minggu, ke kota-kota sekitar di Praha dan Basel. Sama-sama bernama Ubus dan sama-sama berwarna hijau 😊. Ubus hanya sekali mampir di Taichung dan jangan lupa bawa bekal siapa tahu malam-malam lapar, dan saya lapar waktu itu akhirnya hadiah garlic bread, demikian Mas Rizki menyebutnya dapat menahan rasa lapar malam hari 😊. Berangkat jam 23.30 sampai di Zhong Li 3 dini hari trus nunggu bus ke Airport. Mereka paham airport jadi tak perlu takut kesasar. Tak butuh waktu lama menunggu 30 menit kemudian menuju airport dan cepat sampai dan ingat CI ada di Terminal 1.

Tiket Ubus untuk tujuan Terminal 1 Bandara Taoyuan transit di Zheng Li dan Garlic Bread

Situasi pandemi, terminal 1 sepi sekali, ternyata check in gate buka 5.40 LT untuk Jakarta ada di nomor 10. Shalat subuh di sudut bandara, karena seingat saya muhola di TPE ada setelah check in, menuju ke waiting room. Serta buka bekal sarapan yang saya bawa dari Tainan. Ntah, pagi itu ada atau tidak toko atau sevel yang sudah buka. Biasanya saya semangat keliling-keliling sambil menunggu waktu, kemarin itu kok memilih hanya duduk, sesekali berbaring di kursi meluruskan tulang-tulang yang sudah melewati masa 40 tahun masehi.

Okay 5.40 LT saya menuju check in counter, sengaja tak check in online dulu, untuk menikmati percakapan dengan petugasnya 😊. Dan eng ing eng, saya diminta menunjukkan CC karena melakukan pembayaran lewat CC. Ah, tentunya saya gak bisa karena pakai CC Mas Annas yang saat itu sudah ada di Indonesia dipingit di sebuah kamar di sudut Kota Malang. Ya, Mas Annas yang pintar masak ini akan menikah awal Agustus. Mendapatkan wanita shalihah dari ujung utara Taiwan, bukan orang Taiwan, tapi lulusan ITS yang sekolah di NCU. Wah urusan CC bisa sampai NCU hehehe.

Ternyata ada aturan, bahwa kalau pakai CC maka harus dibawa dan ditunjukkan ke counter sebagai bukti bahwa kita sudah beli tiket, oh. Terus Mbaknya Counter bilang: kalau mau terbang hari ini maka harus beli tiket lagi, kami akan beri harga sesuai pembelian sebelumnya. Dan harus bawa fisik CCnya tak boleh difoto. O. O. Dengan senyum akhirnya beli tiket dengan ATM Visa dari Post Bank, lengkap saya sebut 😊, karena uang cash tak sampai sejumlah tiket yang harganya hampir 13 ribu enti itu.

Alhamdulillah dapat tiket deh. Balik lagi ke counter, proses check in. Dan saya bilang bahwa saya sudah pesan moslem meal di sistem. Dan ternyat tak ter-record hehehe. Embaknya sih bilang harus 72 jam sebelumnya dan saya yakin sudah approved untuk moslem meal. Ya sudahlah, akhirnya saya minta vegetarian meal, Mbaknya bilang sudah disampaikan tapi tidak janji ada karena ya itu tadi pemesanan harus 72 jam sebelumnya. Dan ditawari tempat duduk isle, okay, posisi favorit saya.

Masuk ke imigrasi, tak ada sesuatu yang istimewa, biasa saja. Hanya sepi antrian. Masuk ruang tunggu hanya diperiksa suhu tubuh tidak lebih dari itu. Proses boarding berjalan alhamdulillah CI671 ternyata penuh penumpang, hampir semua pemegang passport Indonesia, PMI. Dan sebelah saya kosong. Nonton Home Coming tak bisa menikmati, karena tidur. Aaaaah, nikmat rasanya tidur, setelah berkutat sekian lama, sepertinya agak lupa rasanya tidur waktu dhuha dan siang 😊. Capeknya bukan karna proses boarding, tapi seperti melepas beban sekian lama, mikir pulang, akhirnya bisa: PULANG.

Oh iya, saya berbekal tes PCR dari NCKU Hospital dengan harapan sampai tiba di CGK bisa lebih lancar untuk keluar dari Bandara. Tapi kan karena takut situasi tak pasti maka saya belum book tiket CGK-SUB. Nanti saja setelah keluar imigrasi, pikir saya begitu. Untuk tes PCR ke NCKU Hospital kita bawa tiket dan passport yaaaa 10 hari sebelumnya lah. Ntar petugas akan menentukan jadwal tes PCR dan pengambilannya berdasarkan tiket keberangkatan pesawat. Hasil PCR disetting diambil H-1. Sehingga tes PCR H-3. Nah, biaya 5000 NT silakan dibawa saat H-3 tersebut, dan ingat harus rileks saat PCR test.

Dokumen lain yang saya siapkan yaitu dokumen perjalanan dari KDEI. Cukup email mereka dengan melampirkan: scan passport, ARC, Student Card dan KTP serta alasan ke Indonesia maka selama waktu 3 hari kerja akan dikirim kembali via email hasilnya, sehingga tak butuh usaha yang lebih.

Landing, tiba di Soeta. Keluar dari garbarata, maka rombongan dipisah jadi dua jalur, jalur tak bawa PCR test dan jalur bawa PCR Test, anak-anak dan ibunya, ibu hamil. Saya ikut jalur bawa PCR test. Setelah itu, saya tidak tahu bagaimana jalur yang tidak bawa PCR Test, jadi mikir seperti film-film yang rombongan terpisah terus tak tahu mereka dibawa kemana, hehehe.

Dengar-dengar, dari dunia maya. Mereka akan di PCR test dulu: ada banyak model PCR cepat bayar sekitar 2 jutaan rupiah, dalam sehari selesai, trus atau jalur lain gratis ke wisma atlit butuh waktu sekitar 5 harian sampai PCR test jadi, atau mau nginap di hotel yang ditunjuk. Nah hotel ini berbayar sendiri. Semoga informasi ini masih benar.

Oh iya, selama di pesawat akan diberi 3 lembar kertas: satu untuk deklarasi barang bawaan kita seperti biasanya dari bea cukai, kertas putih dan kuning untuk menceritakan riwayat bepergian kita serta kondisi kesehatan tubuh. Yang bawa PCR test tidak terlalu banyak, dan sebelumnya juga ada penerbangan baru yang landing, tapi ini juga tak butuh waktu lama untuk antri penyerahan dokumen tadi.

Setelah mengisi kertas putih dan merah yang diperoleh di pesawat, saat antri kita diminta mengisi data Health Clearance dari Kemenkes. Kemudian, petugas akan memeriksa kondisi tubuh kita meliputi temperatur, saturation, dan pulse. Yang di dalamnya ada pernyataan bahwa kita diizinkan untuk masuk ke Indonesia dan melakukan proses karantina selama 14 hari.

Health Clearance

Kemudian, setelah mendapatkan persetujuan Health Clearance, menuju ke imigrasi. Imigrasi Indonesia memang lebih ramah 😊 mereka mau menjawab sapaan. Sedangkan di negara-negara lain selalu pasang tampang serem dan tak menjawab sapaan. Beres tak ada antrian. Trus ke ambil bagasi dan ke beacukai. Karena taka da yang perlu dideklarasikan, maka pilih jalur hijau. Saya hanya melenggang sendiri. Menyerahkan dokumen deklarasi bawaan. Dan, selesai. Tanpa ada pemeriksaan bagasi. Trus keluar ada antrian, ternyata sebelum pintu keluar ada penjualan tiket pesawat, saya diperiksa anggota TNI berseragam doreng hijau dan ramah. Bapak TNI ini mengecek Health Clearance saya, setelah okay selesai. saya ditanya tujuan ke Sidoarjo naik apa, saya jawab pesawat. Sudah pesan? Saya jawab belum. Sebenarnya saya diarahkan ke counter tiket itu tadi, tapi saya jawab saya mau pesan lewat traveloka.

Saya keluar dari prosedur bandara. Ada mushola. Shalat jama’ qoshor. Oh iya, waktu di Tainan, saya sudah beli pulsa SIM dan paket data. Kata Mas Annas, sulit cari Wi Fi waktu di mendarat seminggu sebelumnya. Malam sih, waktu itu, apakah mungkin Wi Fi dimatikan atau bagaimana, saya tidak tahu. Jadi saya aman, karena sudah mengaktifkan paket data lokal. Jadi perkiraan saya butuh sekitar 45 menit untuk keluar dari prosedur bandara internasional di Terminal 3.

Nah selanjutnya, setelah shalat berburu tiket. Jegreeeeng. Traveloka dan tiket.com tak jual tiket hari H. Akhirnya berburu di website maskapai, masuk ke Garuda karena yang ada di Terminal 3 kan Garuda. Gak nemu penerbangan. Akhirnya cari Citilink, ada penerbangan jam 16 dan saat itu sudah pukul 14 dan ternyata batas waktu pembayaran jam 15. Wah harus segera cari ATM karena token saya tertinggal di Taiwan. Arah ATM adalah menuju ke terminal pemberakatan, jadi kalau dari terminal kedatangan belok kiri luruuuuus di ujung dan masuk. Ternyata di situ berderat kantor cabang beberapa bank, termasuk BNI.

Pas ambil uang rupiah di ATM BNI, di sebelah saya ada yang ngisi ATM dan Pak Sekuriti BNI, mereka ngobrol. Dan, saya dengar dari obrolan mereka bahwa Citilik per hari itu, 23 Juli pindah di Terminal 3. Saya yang waktu itu sudah kehilangan harapan karena gak bisa bayar via ATM booking citilink jadi bersemangat. Saya pastikan ke Pak Sekuriti BNI, dan benar per 23 Juli hari itu Citilink pindah di Terminal 3. Saya semangat kembali. Saya menyampaikan keluhan saya karena tak bisa bayar tiket karena tak dikirimi prosedur pembayaran. Trus diarahkan ke CS. Saya sampaikan keluhan. CS tak bisa membantu karena statusnya memang saya belum melakukan transaksi pembayaran. Kemudian saya diminta ke CS Citilink. Ternyata CS citilink di lantai atas di mana harus masuk ruang X-ray dulu. Padahal saya belum punya tiket.

Alhamdulillah, ternyata hanya pemeriksaan x-ray bukan pemeriksaan tiket. Akhirnya bisa masuk dan menuju ke lantai atas. Canggih. Lift taka da tombol yang ditekan, angkasa pura 2 telah melakukan perubahan teknologi, bukan pencetan tapi injakan. Sempat bingung juga nyari tombol pencetan di mana 😊.
Injakan di lift dan jarak aman di garbarata

Sisa waktu s.d. jam 15 hampir habis dan saya mempercepat troli mencari counter Citilink. Alhamdulillah dapat, dan memang terdaftar. Tapi tidak dikirimi prosedur bayar karena sudah mepet waktu 😊. Okay lah. Akhirnya bayar tunai di counter Citilink. Harga tiket 800 ribu, kembali dua ribuan. Masih murah menurut saya. Apa lagi mepet dan dapat bagasi 20 kg. Bagasi saya hanya 16 kg. Koper besar full tapi hanya seberat 16 kg. Isinya full, full mainan dari plastik, makanya ringan. Oh iya, sebagian besar mainan plastik ini saya beli di toko second. Dekat Halte Health Bureau di Tainan. Bisa naik Bus 6 arah Rende dari Shengli kalau dari dekat kampus. Saya waktu itu naik motor. Murah dan masih baru menurut saya. Juga banyak barang-barang antik lainnya. Bintang 5 deh.

Saat beli tiket tadi, saya tunjukkan bahwa saya sudah dapat Health Clearance dari pihak bandara. Trus setelah itu check in. Saya lupa pesan makanan untuk di pesawat. Ya sudah nanti di pesawat saja. Biasanya ada. Sebelum masuk x-ray kedua menuju waiting room diperiksa dokumen Health Clearance kembali.

Penerbangan jam 16 boarding, dan pesawat benar-benar take off sekitar 20 menit kemudian. Dalam pesawat kursi tengah dikosongi, sebagai adaptasi pada masa Covid. di bandara dan pesawat semua mengenakan masker malah ada yang menggunakan face shield. Bagus. Hanya beberapa masih saya lihat mereka masih menyentuh bagian muka dekat hidung, dan mata. Ini tak boleh. Juga ada yang masih menyentuh masker bagian luar. Ini juga tak boleh. Jadi walau pakai APD pastikan tak menyentuh bagian wajah sebelum cuci tangan dengan disinfektan.

Penerbangan sore, hanya butuh sejam sedikit untuk landing. Tak terasa apalagi saya bisa tidur. Sayang ternyata di pesawat makanan tak tersedia. Beli minuman uang 100 ribuan, gak ada kembalia. Jadi gak jadi beli 😊.

Selesai di domestic flight mendarat di Runway Juanda. Setelah belok melalui taxi way, lampu mulai dinyakalan kembali diiringi pantun indah dari awak kabin yang selalu berhasil membuat saya tersenyum. Salut Citilink atas konsistensi ketepatan waktu dan pantun-pantun yang membuat senyum. Akhirnya SQ bersandar di apron. Melalui garbarata, menuju ke terminal. Terminal T1 sepi, saya lebih suka menyebut utara. Selain senyap juga ada renovasi ruangan.

Sesampainya di Bandara Juanda, dan ambil bagasi, sebelum keluar kita harus mengisi electronic Health Alert Card (eHAC) yang bisa diunduh di playstore. Atau bisa juga mengisi secara manual di kertas kuning yang telah disediakan pihak Bandara Juanda.

Sesampai di rumah, istri saya berkonsultasi dengan tenaga medis dari puskesmas, apakah memang perlu melakukan self-quarantine, berdasarkan aturan sudah tidak perlu selama ada PCR negatif. Saya menyampaikan dokumen perjalanan dari KDEI, Health Clearance dari Bandara dan PCR Test dari NCKU ke RT juga. Dan disampaikan oleh Ketua RT tidak perlu karantina mandiri. Alhamdulillah. Tapi tetap waspada dan hindari kemana-mana.

1 komentar:

  1. mari gabung bersama kami di Aj0QQ*com x-)
    BONUS CASHBACK 0.3% setiap senin
    BONUS REFERAL 20% seumur hidup. ;-)

    BalasHapus